Oleh: M. Ishomuddin
Dosen Universitas Darussalam, Gontor
PENGGUNAAN hadis dhaif biasanya menuai kontroversi. Kitab Ihya Ulumuddin menjadi salah satu ‘korban’ nya. Dikarenakan kitab yang ditulis oleh Imam al-Ghazali tersebut mengutip hadis-hadis dhaif, maka oleh sebagian kelompok kitab tersebut ‘dipinggirkan’. Salah faham tentang hadisdhaif bahkan berlanjut pada tingkat yang ekstrim, seakan-akan hadis dhaif harus dibuang.
Para Ulama sebenarnya tidak pernah membuang hadisdhaif. Tetapi mereka menempatkannya sesuai kedudukan hadis tersebut.
Di antara pendapat yang paling kuat dan dipilih oleh mayoritas ahli hadits dalam menyikapi hadits dlaif adalah; Pertama, tidak boleh digunakan landasan penetapan aqidah dan pengambilan hukum halal dan haram.Kedua, boleh dijadikan pijakan dalam keutamaan-keutamaan amal (fadlail al-a`mal), penyemangat dalam beribadah (targhib wa tarhib), penulisan sejarah dan kisah-kisah hikmah (manaqib). Tentu dengan persyaratan sisi ke-dlaif-anya tidak terlalu parah.
Namun ada sisi lain yang lebih menarik untuk dikaji. Para ulama baik dari disiplin hadits, fiqh maupun kalam menyatakan wajib menerima dan mengamalkan hadits yang bersanad dlaif jika umat Islam sekaligus para ulama telah menerima dan mengamalkan hadits tersebut. Ini berlaku baik dalam masalah aqidah dan hukum, apalagi dalamfadlail al-a`mal .
Hal ini sebagaimana diungkapkan Imam as-Suyuthi setelah menjelaskan satu hadits dlaifdari Sunan Tirmidzy yang telah diamalkan umat Islam. Beliau menyatakan “lebih dari dari satu orang (ulama menyatakan), bahwa termasuk bukti keshahihan hadits adalah pernyataan ahli ilmu atas hadits itu, walaupun tidak ada sanad yang bisa dijadikan pijakan” (Jalaluddin as-Suyuthi, at-Ta`aqqubat ala al-Maudluat, 12). Lantas, siapa sajakah ulama yang beliau maksud perkataan tersebut ?.
Di antara para ulama tersebut adalah Imam Malik, Imam as-Syafi`i, al-Hafidz as-Sakhawi dalam Fath al-Mughits,Imam Tirmidzy dalamSunan-nya, Ibn Hajar al-Atsqalani dalam al-Ifsah Ibn Abdil Barr al-Maliki dalam al-Istidzkardan at-Tamhid, Ustadz Abu Ishak al-Isfarayini, Ibn Furak, Ibn Qayyim dan lain sebagainya. Berikut sedikit penjelasan mereka:
Setelah Imam as-Sakhawi menjelaskan panjang lebar berbagai pendapat penggunaan hadits dlaif oleh para ulama, beliau memberikan kategori hadits dlaif yang wajib diterima; ‘jika ummat telah menerima hadits dlaif, maka hadits itu dimalkan menurut pendapat yang benar’, bahkan bagi beliau, hadits seperti ini hampir sama dengan hadits mutawatir. (as-Sakhawi, Fath al-Mughits bi Syarh Alfiah al-Hadits, 120-121).
Al-Hafidz Ibn Hajar al-Atsqalani memberikan kriteria tambahan terhadap hadits Maqbul.Bagi beliau, penerimaan para ulama terhadap suatu hadits juga merupakan bagian dari bentuk hadits maqbul. Kriteria ini sebagai bentuk penyempurnaan syarat-syarat yang ditetapkan gurunya; al-Hafidz al-Iraqy. Dengan kata lain, jika ada hadits bersanaddlaif namun ummat menerimanya, maka hadits ini wajib diterima dan diamalkan, sehingga statusya menjadi hadits maqbul.
Beliau menyatakan: ‘termasuk ciri-ciri hadits maqbul adalah kesepakatan pengamalan para ulama terhadap kandungan hadits, maka wajib diamalkan, hal ini telah dijelaskan oleh para ulama ushul seperti Imam Syafi`i’ (Ibn Hajar al-Atsqalani, al-Ifshah ala Nukat ibn Shalah,1/134).
Pendapat ini juga dikeluarkan oleh guru Imam Syafi`i; Imam Malik Bin Anas. Hanya saja beliau menekankan pengamalan tersebut dilakukan oleh penduduk Madinah. Sebagaimana pernyataan beliau yang dikutip Imam ad-Daraquthni; “Kemasyhuran hadits di Madinah sudah mencukupi dari pada keshahihan sanad”(ad-Daraquthni,Sunan ad-Daraquthni, 2/441). Hal ini berkaitan erat dengan metodologi beliau yang menjadikan amal ahli Madinah sebagai rujukan dalam menentukan suatu hukum.
Imam at-Tirmidzy di beberapa tempat dalamSunan-Nya juga memberikan komentar adanya hadits dlaif yang diamalkan para Ulama. Misalnya setelah menuturkan hadits ‘ barang siapa yang menjamak dua shalat tanpa udzur, maka dia sedang mendatangi pintu dosa besar’. Sanad hadits ini didlaifkan oleh sejumlah muhaddits termasuk Imam Ahmad Bin Hambal. Namun belaiau berkata ‘ diamalkan menurut ahli ilmu’ (wa al-amal `inda ahl al-ilm) (Sunan at-Tirmidzy, 1/303).
Sikap para ulama di atas mungkin menyisakan sejumlah pertanyaan, mengapa hadits dlaif yang sudah diamalkan oleh ummat Islam itu tidak ditolak saja oleh para ulama ?, toh mereka bisa merubahnya !. Pertanyaan yang lebih ekstrim lagi, apagunanya Islam memiliki sistem Isnad yang sudah teruji menjada agama ini dari berbagai distorsi dan penyelewengan ?.
Mungkin pernyataan Abu Hassan al-Hasshar dalam Taqrib al-Madarik ala Muwattha` Malikyang dikutip Thahir al-Jazairi bisa memberikan sedikit titik jawaban. Baginya, “terkadang ahli fiqh dapat mengetahui keshahihan suatu hadits jika pesan hadits ini sesuai dengan pesan yang terkandung dalam al-Qur`an dan pokok-pokok syari`ah, maka hal ini sudah mencukupi untuk bisa menerima hadits tersebut”, walaupun tidak lulus dalam uji sanad (Thahir al-Jazairi, Taujih an-Nadhar, 1/213).
Pernyataan faqih Madzhab Maliki ini juga memberikan pengertian adanya suatu hadits yang tidak shahih dari aspek sanad namun shahih dalam kandungan matanya. Oleh sebab itu, ketika seseorang menjumpai hadits yang bersanad dlaif, hendaknya tidak terburu-buru mengatakan ‘hadits ini dlaif’, melainkan berkata ‘sanad hadits ini dlaif’, karena mungkin ada sanad lain yang menguatkanya atau kendunganya tidak bertetangan dengan pondasi syari`at. Kecuali, jika para ulama menyatakan hadits ini dlaif dari aspek sanad dan matan, juga tidak ada hadits yang menguatkanya.
Adapun tentang masalah signifikasi Isnad dan kaitanya dengan masalah ini, jawaban lebih gamblang disampaikan oleh pakar hadits Muhammad Anwar Syah al-Kasymiri yang diukutip al-Kunawi. Beliau mengatakan‘keberadaan Isnad supaya tidak ada perkara non agama yang masuk ke dalam agama, bukan untuk mengeluarkan perkara yang sudah tetap; yang sudah diamalkan oleh ahli Isnad’. (al-Kunawi, al-Ajwibah al-Fadlilah, 238).
Yang perlu digaris bawahi dari tulisan ini adalah; pertama, hadits seperti ini jumlahnya tidak banyak. Kedua, untuk mengetahui penerimaan ummat juga dengan kesaksian dari para ulama, bukan dari persepsi belaka.Ketiga, untuk itu walaupun ada rumusan seperti ini tidak berarti semua haditsdlaif wajib diamalkan, dan tentu ini kesimpulan yang salah. Namun, di sisi lain ummat perlu membuka diri bahwa ada haditsdlaif yang wajib diamalkan dan tidak terlalu ‘Over- Againts’ terhadap hadits rasul ini.
Leave a Reply